Jumat, 25 September 2015

EKSOTISME GUA BUNIAYU (2)




Sebelumnya EKSOTISME GUA BUNIAYU (1)

Menyenangkan sekali. Makan malam yang nikmat, sambalnya lezat, lauknya enak, sayurnya pas. Kami tidur di rumah panggung, sudah disediakan kasur, bantal, dan selimut.

Ini restorannya


Sebelum tidur dibuatkan api unggun, sambil membakar singkong, dimulailah acara “Tak Kenal maka Tak Apa-Apa, eh maka Tak Sayang”.

Api asmara..eh api asrama..eh api ahsudahlah
Saya jadi tahu perjalanan panjang Andri sejak bertemu “wallet girl” sampai berada di Jakarta. Stef juga ternyata satu almamater, dari fakultas MIPA sama-sama merasakan pahitnya tanjakan cinta di kampus kami. Kalau Banie ceritanya sangat menggebu-gebu, saya tebak waktu kuliah dulu, ia adalah salah satu orator atau penggerak massa. Anjar, menyimak dengan tidak seksama cerita para senior yang tidak jelas itu.Teguh suka naik gunung dan punya misi di setiap perjalanan, mengabadikan semua tempat yang indah-indah dengan berfoto sebanyak-banyaknya. Awalnya, kami para wanita kurang mempercayainya, tapi kita lihat saja besok.



Pagi hari peralatan standar kami kenakan, helm, boot, baju lapangan, dan sit harness, karena kami akan menelusuri gua vertikal. Alat dokumentasi kami siapkan dengan matang, hp, kamera digital, kamera DSLR lengkap dengan plastik transparannya. Barang berharga lain, seperti uang, emas, berlian, dan batu akik, kami tinggal di rumah panggung dan di gembok.

Kami bergabung dengan rombongan lain, rombongan anak Bandung, dan rombongan 3 orang Jerman.

Yang meng-guide kami  adalah Aa yang berbeda, mungkin semacam pembagian tugas. Sebut saja A Jaka. Kami turun satu per satu secara bergantian, A Jaka menjelaskan bahwa kami hanya akan turun sekitar 20 meter. Namun kegelapan yang berada di bawah sana cukup membuat gentar.

Rata-rata ekspresinya macam Mba Imel ini

Saya berusaha menegarkan diri dan membayangkan naik flying fox saja supaya tidak terlalu takut. Dan sret..tiba-tiba saja sudah sampai di bawah, kurang dari 3 menit.

Tapi sebagian ada juga yang tetep hepi ga tegang sama sekali

Pemandangan gua kembali mencengangkan kami. Sungguh indah, tiada bandingannya. Berjalan beriringan dengan kelompok Bandung dan orang Jerman.


Ada satu tulisan di sebuah stalagmit, tulisan Daeng, berbunyi "Jalan kecil sedikit yang...tahu pilihan sendiri". Mungkin maksudnya "Pilihlah jalanmu sendiri, walau sulit dan penuh rintangan", mungkin sih. Kalau tulisan seperti itu muncul di zaman sekarang, mungkin tulisan para alay. Namun itu tulisan sudah ada sejak zaman dahulu lho, katanya, super sekali. Tapi tetap saja, menulis di stalagmit tidak diperkenankan.


Kami berjalan menelusuri aliran sungai. Mba Imel semangat sekali mengikuti A Jaka dan menyimak semua informasi. Saya, Wulan, dan Rezi berfoto di spot-spot tertentu, begitu pula Andri, Banie dan Anjar. Teguh berfoto di setiap spot, dan selalu berhasil menemukan di mana Stefanus, sang fotografer, berada. Kami, para wanita narsis pun hanya bertatapan nanar dan mengakui bahwa kenarsisan kami tidak ada apa-apanya dibandingkan sang anak gunung itu (sudah melalui proses dramatisasi).


Sampai-sampai orang Jerman agak sebal menunggu kami yang berjalan dengan sangat lambat dan memilih berjalan duluan.



Di suatu waktu A Jaka menginstruksikan kami untuk berhenti, mematikan semua senter/alat penerangan dan dilarang bersuara. Tujuannya tiada lain untuk berkontemplasi menikmati kegelapan 100% seraya mendengarkan suara alam sekitar. Saya sadari, ini membuat kita harus mensyukuri nikmat penglihatan.


Lama kelamaan perjalanan cukup menegangkan, menyusuri pinggir tebing, melompati jurang, turun/naik tebing,  merayap, semua dilakukan tanpa pengaman (sekali lagi, tanpa pengamanan!), memang ada tali-tali webbing untuk berpegangan, namun saya cukup ngeri juga membayangkan jika terjatuh ke dalam jurang tak berdasar.




Saat melihat-lihat sekeliling, di bagian atas gua nampak beberapa sampah yang tersangkut. A Jaka kembali menjelaskan bahwa jika musim hujan jangan coba-coba untuk masuk karena gua akan tertutup air. Beberapa orang pernah mengalaminya dan itu sangat mengerikan.
Jangan melawan alam, pahami dan bersahabatlah.



Sampailah di suatu medan yang menurut saya paling sulit, medan lumpur. Melangkah satu langkah lalu terperosok sedalam lutut, perlu tenaga yang kuat untuk menarik kaki dan melangkah lagi. Saya membayangkan di film-film petualangan ada yang namanya lumpur hisap. Mungkin seperti ini, begitu menggerakkan kaki bukannya terangkat malah terperosok semakin dalam. Untunglah di sini masih bisa menemukan dasarnya sehingga kaki masih bisa terangkat.

Sepatu boot tenggelam entah dimana. Jadi, ada suatu waktu di mana kami semua berusaha menemukan sepatu boot yang tertinggal di dalam lumpur, tangan kaki pastinya sudah kotor sekali. Sampai sekarang saya penasaran, apakah sang anak gunung berhasil berfoto di sini. Karena untuk berjalan saja sudah sulit, sama sekali tak terpikir untuk berfoto.

Mba-mba Jerman di depan kami saja sudah hampir menangis dan tidak sanggup untuk berjalan, akhirnya digendong oleh A Tedja, yang tidak jelas tiba-tiba datang begitu saja menyelamatkan Mba Jerman. Syukurlah di antara kami tidak ada yang menangis atau minta digendong, rupanya kami sudah terbiasa hidup susah dan tetap pantang menyerah. Yang penting hati senang walaupun tak punya uang. Halah..

Perkiraan saya bahwa ini medan tersulit dimana artinya akan ada ending bahagia memang terbukti. Kami berakhir di sebuah tangga dan di sanalah ada cahaya matahari yang berkilauan. Selesai sudah.





Membersihkan diri di air terjun, kembali ke penginapan menggunakan kol bak bersama 3 orang Jerman tadi. Kami tak henti bercerita tentang keseruan penjelajahan gua. Orang-orang Jerman juga saling mengobrol dengan bahasanya. Dan karena Mba Imel mengerti bahasa Jerman. Kami jadi mengetahui bahwa mereka membicarakan kami dan mengatakan bahwa kami berisik sekali..haha.

Semoga bukan hanya keberisikan kami yang menjadi kesan bagi mereka, namun juga ke eksotis-an gua Buniayu dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

*****

Bersyukur mengetahui  salah satu keindahan alam ciptaan-Nya dan mengambil pelajaran yang tersembunyi di dalamnya. Terima kasih ya Allah, terima kasih teman-teman semua, sungguh luar biasa!

*Misteri kelapa muda akhirnya terpecahkan, ternyata  untuk mengembalikan stamina  setelah penjelajahan panjang  ini*

1 komentar: