Selasa, 20 Januari 2015

KRAKATAU YANG MENGESANKAN

Photo by Imam
Trip ini saya nobatkan sebagai “TRIP PALING MENGESANKAN SEPANJANG MASA”.

Tiba-tiba saja Tujuh Belasan mau ke Krakatau, kenapa ke Krakatau? Sebenarnya kemana pun boleh saja sih, namun teman saya mengajak ke Krakatau, katanya upacara di bawah laut. Apa? Krakatau kan gunung mengapa upacaranya di bawah laut bukan di atas gunung? Sudahlah, mungkin saya kurang nyimak. Saya percayakan semua kepada teman, provider apa yang dipilih, bayar berapa, bagaimana teknisnya, ikut saja.


Ternyata yang terpilih adalah ajakan open trip yang ada di forum K***** dengan harga yang lebih murah daripada provider trip lainnya. Setelah mengumpulkan massa, akhirnya bersepakatlah kami ber-10 (Saya, Rezi, Wulan, Dewi, Rina, Odink, Ayu, Putri, Fenny, Hafizh) untuk ikut trip tersebut. Mendekati hari H seperti biasanya saya mengalami keresahan yang sama. Berangkat dari Bandung sama siapa?

Dengan mengerahkan semua jaringan relasi yang tersedia, saya menemukan teman berangkat dari Bandung, 4 orang mahasiswa gaul yang unyu-unyu. Tibalah kami di Pelabuhan Merak jumat tengah malam. Terkejut juga saya ternyata yang berkumpul di sana hampir 50 orang, cukup banyak. Panitia kurang lebih ada 6 orang saja.



Baru pertama kali saya naik kapal feri, agak berdebar juga, membayangkan bagaimana rasanya. Kantong kresek sudah saya persiapkan sedari rumah, jaga-jaga kalau merasa mual. Ternyata tidak ada rasa apa-apa, kapal seperti tidak bergerak hanya sedikit bergoyang saja. Pukul 05.00 hari Sabtu  kami  menjejakkan kaki di Pelabuhan Bakauheni, wilayah Lampung Selatan.


Nah di sini mulai merasakan ada yang tidak beres, kami menunggu hampir 3 jam dan baru jalan pukul 08.00 ke Dermaga Canti. Alasan panitia adalah karena ada miskomunikasi dengan para supir angkot..blablabla..kami tidak mau tahu. Kesal, bete, marah pastinya ada, tapi rupanya itu terobati dengan perjalanan angkot kami yang luar biasa ngebut, bagaikan film fast & furious, salip sana salip sini, jalanan sih memang bagus, tapi sepanjang jalan dipenuhi banyak truk container, kendaraan pribadi dan angkot lain pun sama saja ngebutnya. Sepanjang jalan, Odink terus berteriak menyemangati Pak supir, entah memang senang ataukah karena cemas, saya tidak tahu.


Setelah kurang lebih 1 jam, sampailah di Dermaga Canti. Ini adalah ketidakberesan kedua. Memang sebelumnya kami sudah diinformasikan bahwa jika ingin snorkeling harus membayar lagi untuk menyewa peralatannya. Saya dan beberapa orang teman sudah setuju itu, ada beberapa yang  menyewa ada beberapa juga yang tidak. Ternyata peralatan snorkeling itu terdiri dari, pelampung, goggle, dan kaki katak.


Bayangkan pemirsah! Teman-teman yang tidak sewa alat, mereka tidak dapat PELAMPUNG. Padahal sepengetahuan saya pelampung itu adalah alat wajib untuk keselamatan kita jika bepergian dengan perahu nelayan biasa.

Dermaga Canti
Namun sekali lagi, rasa kesal, marah, bete terobati dengan pemandangan laut yang begitu indah. Kami terbagi menjadi 3 kapal nelayan, sepanjang jalan berdoa (sembari menggenggam erat kantong kresek) agar perjalanan kami lancar dan selamat.

Mirip artis

Perjalanan menuju Pulau Sebesi. Memakan waktu 1 jam, karena siang hari, perjalanan lancar dan ombak tidak juga tidak terlalu besar. Sampai di Pulau Sebesi kami dibagi-bagi per kelompok untuk menempati beberapa guest house sewaan. Kondisinya bagus, kamar mandi cukup tersedia, mushola juga ada. Kami makan siang dengan menu salah satunya ikan xxx (dimana saya baru mengetahui setelahnya bahwa saya alergi ikan ini). Yang paling membahagiakan adalah beli kelapa muda dengan harga Rp.6.000 saja. Di tengah laut di Pulau xxx, sekian kilometer dari daratan, bisa menikmati kelapa muda semurah itu. “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?


Sore harinya, sesuai jadwal di itinerary, agenda kami adalah snorkeling di pulau Umang-Umang. Tanpa kecurigaan saya dan teman-teman serombongan menuju dermaga dan menaiki kapal terakhir. Dan di sinilah peristiwa ter”ngenes”  itu terjadi.  Di belakang kami ternyata masih ada sekitar 20 orang lagi yang belum kebagian kapal, sedangkan kapal yang masih tersisa hanya 1 kapal dimana itu pun sudah penuh. Mana PANITIA? Tak sebatang hidung pun kami temui. Mereka sudah berangkat lebih dahulu bersama dua kapal sebelumnya.


Tidak mungkin dipaksakan, kapal terakhir kami berangkat. Sambil bercucuran airmata..eh keringat seraya melambaikan tangan kepada 20 orang yang tertinggal kami berjanji akan menyusul panitia dan menceburkan mereka ke laut (bercanda.red). Memang kami susul, ada utusan yang menyampaikan berita menyebalkan tersebut ke panitia. Saya kurang perhatikan detilnya karena saya fokus menguatkan fisik dan mental untuk snorkeling di tengah laut. Menurut pengakuan beberapa orang saksi hidup dalam peristiwa tersebut, yaitu Andri dan Banie, akhirnya mereka menyewa kapal sendiri..ckckck..terlalu sekali.

Saya tidak berhasil menguatkan fisik dan mental untuk snorkeling di tengah laut dan meminta abang-abang nahkoda untuk me-mlipir-kan kapalnya ke pulau terdekat. Entah pulau apa, saya cukup bahagia bisa snorkeling melihat batu-batu karang di pinggir laut dan menikmati sunset yang indah. Sekali lagi ke-ngenes-an itu terlupakan.

Photo by Rezi

Photo by Rezi
Photo by Rezi
Malam hari acara bebas, ya tentu saja saya langsung tertidur pulas demi menjaga kondisi fisik dimana esok hari akan nanjak gunung Krakatau yang terkenal itu.

Esok harinya, tiba-tiba panitia jadi perhatian sekali kepada peserta, ditanya sudah siap belum, di-sweeping setiap kamar sudah berangkat semua belum. Ya memang begitu keuleus seharusnya. Setelah diusut ternyata tadi malam, terjadi demo besar-besaran peserta trip akan kelakuan panitia yang tidak elok, meninggalkan peserta begitu saja.

Pukul 06.00 hari minggu, 17 Agustus 2014. Berangkat menuju Krakatau, perjalanan  saya rasakan sangat lama, ombak juga sangat tinggi, terombang-ambing dengan sangat parah, kresek pun akhirnya habis semua saya gunakan. Pukul 08.00 turun dari kapal dengan sempoyongan, baru bisa berjalan tegak setelah menemukan spot untuk foto-foto. Tadinya merasa paling menderita, namun ternyata teman yang ada di kapal setelah kami, turun dengan sempoyongan dan basah kuyup, karena kapalnya memang terbuka dan tersembur ombak setiap waktu. Melihat mereka yang basah kuyup, antara ingin menangis dan tertawa.


Pantai sekitar Krakatau pasirnya berwarna hitam. Mungkin ini yang disebut pasir vulkanik. Jika dipegang sangat kasar dan tajam. Mungkin untuk bahan nge-cor beton rumah sangat cocok ya.

Rombongan pun terpisah-pisah tak beraturan, namun yang jelas kami menghindari kebersamaan dengan panitia, menurunkan mood, bawaannya ingin marah dan ingin nyeburin ke laut.

Yang kami naiki adalah Anak Krakatau, karena Krakataunya sendiri sudah meletus pada tahun 1883.

Photo by Imam
Begini ceritanya, setelah letusan dahsyat Krakatau 1883, dua pertiga dari pulau Krakatau runtuh tenggelam ke dasar laut lalu tiba-tiba 44 tahun setelahnya yaitu pada 1927, sebuah pulau baru muncul di lokasi yang sama dan sesekali mengeluarkan semburan lava. Pulau baru itu disebut Anak Krakatau.

Anak Krakatau menyeruak ke permukaan bumi dari kawasan kaldera purba tersebut. Gunung ini pun ternyata masih aktif dan terus bertambah tingginya sekitar 20 inci per bulan. Dalam setahun menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tingginya sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung  maka dalam waktu  25 tahun penambahan tingginya mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya.

Penyebab bertambah tingginya gunung ini disebabkan material yang keluar dari perut gunung baru tersebut. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut. Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu dimana wisatawan dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkannya. (Sumber: www.indonesia.travel)

Photo by Rezi
Perjalanan menuju puncak cukup singkat, awal perjalanan masih dipenuhi pepohonan, selanjutnya berjalan di trek pasir, di mana ketika melangkah naik akan terperosok turun lagi, begitu seterusnya sampai puncak. Aslinya hanya setengah jam, namun kami mencapai puncak sekitar 1 jam lebih karena dibarengi kegiatan wajib yaitu foto-foto tiada habisnya.

Photo by Rezi
Photo by Rezi
Sungguh indah pemandangan alamnya. Luar biasa. Gunung di antara lautan. Lukisan Sang Maha Agung yang tiada bandingannya. Alhamdulillah bisa melihatnya. “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Photo by Rezi





Photo by Imam
Pulangnya, ada satu agenda lagi yaitu snorkeling di Pulau Lagon Cabe. Mungkin mau upacara tujuh belasan di tengah laut, karena seingat saya tadi tidak ada upacara di atas gunung. Saya memutuskan tidak ikut karena kondisi perut yang belum pulih, memilih kembali saja ke guest house, packing, dan menikmati murahnya kelapa muda.

Namun ke-ngenes-an belum berakhir juga. Ketika semua sudah kembali dari Pulau Lagon Cabe, ada 2 orang yang tertinggal di laut, tante dan keponakannya. Sungguh di luar batas kewajaran. Saya dan rekan-rekan lain hanya bisa geleng-geleng kepala menyadari kenyataan pahit ini.

Urusan pengembalian alat-alat snorkeling juga cukup menguras emosi, sesaat sebelum meninggalkan guest house, panitia menginstruksikan untuk didata dan dikumpulkan ke panitia. Ketika akan berangkat menuju Dermaga Canti kami masing-masing disuruh membawa kembali alat tersebut. “Yaaah kenapa tadi harus dikumpulkan dulu, sudah saja nanti sekalian di dermaga”.

Di perahu menuju Dermaga Canti kebisuan menyelimuti kami, mengistirahat fisik dan emosi sambil menikmati sunset dari atas kapal. Namun, Rezi dengan insting Head Hunter-nya masih sempat berkenalan dengan Septian, seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Dan ada satu lagi kenalannya yang sampai saat ini masih misterius, Aliga Ramli … entah siapa dia.

Oh iya, kabarnya kedua orang yang tertinggal akhirnya ikut dengan rombongan lain, sungguh melegakan. Memang saat itu sangat banyak bertemu dengan rombongan lain, nampak mereka cukup terstruktur, pelampung disediakan, ada team support yang membawakan alat, team leader-nya cekatan mengatur tim, ah rumput tetangga memang lebih hijau.

*****

Itulah mengapa disebut mengesankan, ada kesan baik, ada kesan luar biasa, ada kesan menyenangkan, ada kesan indah, ada kesan buruk, ada kesan bete, ada kesan kasihan..sungguh mengesankan.

Memilih provider open trip memang tidak bisa sembarangan.

Yang perlu diperhatikan adalah pengalaman, jam terbang, dan testimoni para pengguna jasa provider tersebut. Harga salah satu bahan pertimbangan juga. Kemungkinan berbanding lurus, semakin mahal semakin baik service-nya. Jangan karena beda 30-50ribu, lalu memilih yang murah dan mengorbankan kenyamanan dalam berpetualang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar