Selasa, 16 Desember 2014

CERITA DI MALAM ITU @GEDE



Sejatinya, saya adalah pecinta fotografi landscape. Jadi ketika diajak ke Gunung Gede naiknya lewat Putri, turun lewat Cibodas sangat menggembirakan hati karena artinya sepanjang perjalanan saya akan mendapat semua pemandangan.

Sebelum nanjak, beberapa peringatan juga mampir dari teman and my brother, sehubungan dengan musim hujan yang sedang parah.

Perjalanan diawali dengan keresahan anggota pendakian yang berasal dari Jakarta, berjumlah 7 orang (8 include saya). Kala itu, jumat sore yang sangat suram di Jakarta, kabarnya hujan deras sekali, angin bertiup kencang, pohon tumbang, petir bersahutan, banjir dimana-mana (ngeri..smg ini hanya penggambaran saya saja). Sempat terlontar juga keragu-raguan dari beberapa orang, akan berangkat atau tidak. Saya coba pastikan jika ada satu orang saja yang berangkat, saya akan tetap berangkat. Saya tidak mungkin batal. Dari Bandung, cuaca gerimis biasa saja, dan saya juga sudah pamit ke orang rumah, ke pak RT, dan ibu2 pengajian untuk minta didoakan (hehe..yang terakhir ini bercanda).

Tanpa banyak berpikir, saya naik travel menuju meeting point di Kampung Rambutan. Sebenarnya jika langsung ke Cibodas lebih dekat, Bandung-Cibodas kurang lebih 80 km saja. Namun karena alasan tidak ada teman, jadi saya ikut mepo Jakarta saja. Jam 9.30 malam saya sampai Kampung Rambutan.

Di sana sudah ada 2 orang, yaitu Bang Ribut dan Bunga (bukan nama sebenarnya). Sebelumnya BR (pakai inisial supaya misterius) memberi tahu bahwa akan ada temannya ikut namun tidak bisa disebutkan namanya, maka kami sebut saja “Bunga”. Saya baru tahu ketika di Kampung Rambutan bahwa “Bunga” adalah rekan yang kami kenal juga. Haha..ternyata saya cukup lemot untuk menyadarinya sejak awal. Nice, permulaan perjalanan yang menyenangkan. 

Satu per satu semua personil berdatangan dan lengkaplah kami ber-8 orang. Walaupun memang terlambat 1 jam dari rencana semula jam 9, namun ternyata tidak ada yang mengurungkan niat. Luar biasa sekali, hujan badai pun diterjang demi pergi ke Gede.

Jam 2 dini hari sampai di pertigaan menuju Cibodas, BR naik bersama temannya untuk mengurus simaksi ke Cibodas. Kami ber-7 mencarter angkot menuju Putri. Negosiasi pun dilakukan, 2 orang menghampiri kerumunan supir angkot, ternyata lumayan mahal, 170rb/angkot. Karena kurang puas, akhirnya 2 orang lagi (termasuk saya) diutus untuk bernegosiasi, hanya turun 10rb, jadi 160rb/angkot. Mungkin kalo kami mengutus 2 orang lagi untuk bernegosiasi masih bisa turun lagi, mungkin..hehe, tapi sudahlah. Akhirnya kami menaiki angkot bertuliskan PHP, terlihat cukup baru, dengan beberapa speaker dan menyetel lagu-lagu nge-beat sepanjang jalan. PHP singkatannya Perawan Hampir Punah..haha.









Sebenarnya saya agak khawatir dengan urusan simaksi Gede ini karena kuota sudah penuh, 300 orang per hari. Entah bagaimana caranya kami tetap mendapatkan izin (<<semoga tidak ada yang meniru cara ini). Mulailah pendakian kami, treknya cukup menyenangkan, beberapa spot bagus untuk dipotret. Ada beberapa bagian berbatu dan diplester. Heran juga kenapa sempet-sempatnya diplester, cukup menghambat karena mengganggu kealamian dan sangat licin tentunya.

Detil perjalanan sudah dituliskan dengan sangat baik oleh dik Bunga di sini.








Saya tidak mengerti tentang “pace”, ritme atau apapun, namun setelah melewati pos 4 yang kurang lebih sudah berjalan selama 6 jam, merasa sangat lelah dan ingin segera mengakhiri perjalanan, saya berjalan secepat yang saya bisa. Namanya juga pendaki "pecel lele", inginnya cepat sampai dan selonjoran di tenda. Dan dengan sadar saya meninggalkan Rezi dan Wulan di belakang. Walaupun mereka tidak berdua saja tentunya, tetap dikawal oleh Mas Bro dan Ranger.  Kelompok terbagi menjadi 2 (@4orang).

Pikiran saya simple saja, “Toh semua menuju ke atas, pasti akan ketemu pada akhirnya”. Namun yang terjadi tidak sesimple yang saya bayangkan.

Saat kami ber-4 (saya, bunga, BR, Bimo) sampai di Surya Kencana, cuaca masih terang benderang, saya masih sempat mengabadikannya.








Setengah jam kemudian, hujan mulai turun, gerimis sampai akhirnya deras. Sulit sekali mendirikan tenda di saat hujan, menjaga agar tenda tidak basah. Namun akhirnya berhasil, 1 tenda kapasitas 3 orang, 1 tenda hotel entah kapasitas berapa (10 mungkin masuk) dan flysheet di antara 2 tenda tersebut.

Walaupun hujan badai dan berkabut, dengan optimis, BR dan B bergegas mencari 4 orang rekan yang tertinggal. Saya tahu mereka berdua lelah karena memikul beban yang cukup berat, namun tanggung jawablah yang membuat mereka tetap bergerak #tsaah :p.

Saya sempat keluar dengan niat mengambil air, namun kembali lagi karena hujan deras dan kabut, cuaca sungguh buruk. Sejam berlalu, dua rekan kami kembali dengan tangan hampa, katanya sudah melacak  ke pos 4, namun tidak ketemu dengan 4 rekan yg tertinggal itu. Seketika menyadari betapa saya telah membuat kesalahan.

Saat itu sudah pukul 6 sore, hujan besar, badai, semua perlengkapan W ada di kami karena tadi dibawakan oleh B. Namun kabar baiknya, salah satu dari mereka ada yang membawa tenda kapasitas 2 orang, namun tidak ada yang membawa kompor/nesting.

Sangat khawatir apa yang terjadi dengan mereka di cuaca seburuk itu, berbagai pikiran negatif melintas. Bagaimana jika tendanya bocor, sleeping juga kurang, bagaimana jika hypo tidak ada kompor dsb-dsb, parah sekali. Saya sangat menyesal telah membuat malam itu menjadi sangat suram.

Bunga menyemangati saya bahwa “Ga akan terjadi apa-apa dengan R dan W, mereka kan ber-4, Mas Bro dan Ranger adalah pendaki pro, jadi jangan khawatir”. Kata-kata Bunga mengurangi  12,5% dari 100% kekhawatiran saya. Menyalahkan orang lain juga mengurangi 15% dari 100% rasa bersalah saya (mohon maaf ya teman). Air mata tidak disuruh keluar tapi keluar dengan sendirinya, itu bentuk dari rasa khawatir, rasa bersalah, dan rasa ingin pipis.. 

Sempat mencoba keluar tenda untuk mencari, tapi hanya 2 langkah langsung kembali ke tenda, luar biasa dingin, hujan dan berangin. B bilang jika hujan reda akan segera mencari, namun sepanjang malam saya tunggu, hujan tak juga reda. Bangun subuh masih dengan keresahan yang sama. Akhirnya mengajak Bunga mengatasi salah satu keresahan dengan mencari spot untuk pipis.

Setelah cuaca agak terang saya mengikuti Bunga mencari ke arah yang banyak tenda dan ternyata kami tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan mereka. Tidak sampe 5 menit teriak-teriak sudah ketemu. Senang tapi cukup menyesakkan, ternyata dekat sekali, paling cuma 27,65 meter jarak tenda kami.

Seketika dunia saya menjadi cerah kembali. Walaupun Surken masih hujan dan berkabut, namun rasanya di hati saya sudah muncul pelangi :).

Mereka baik-baik saja, kondisinya tidak semenyedihkan yang saya khawatirkan, namun bayangkan saja tenda sempit dan bocor, tidak ada kompor dan nesting. Rasa bersalah dan terharu bercampur menjadi satu menyimak cerita mereka untuk bekerjasama, saling berkorban di tengah cuaca yang begitu dingin. 

Ternyata kami saling mencari, Mas Bro mencari kami juga. Mungkin kalau seperti di film, ada saatnya ketika kami berpapasan namun tidak saling melihat dan baru bertemu satu purnama kemudian(-_-‘).

Sepanjang malam, R pun resah karena mengkhawatirkan Mas Bro yang tidak kembali ke tenda, setiap jam bertanya pada Ranger apakah dia sudah kembali. Mas Bro kembali ke tenda memang, namun melihat tenda yang sudah sempit, jadi mencari tempat menginap di tukang kopi. Tukang kopi yang katanya sama sekali tidak berusaha membuka percakapan dengan Mas Bro. Mmm..menginap di luar dalam cuaca hujan badai, cuma pakai rain coat, tanpa sleeping bag <<memang sudah pro. Jadilah malam itu saya nobatkan sebagai “Malam Keresahan Nasional”.

BR as a team leader memutuskan untuk kembali, tidak ke puncak dan tidak lewat Cibodas, semua setuju, tidak ada yang protes. Dan kamipun berfoto dengan riang gembira.






Perjalanan turun juga mempunyai cerita tersendiri. W bermasalah dengan sepatu barunya. Ranger jadi tracking poll-nya R. Bernyanyi bersama di awal perjalanan, berbalas pantun bodoran ala Sule, bertemu gadis Kalibre kecengan Mas Bro, foto bareng pendaki profesional yang maunya blusukan mencari trek tersulit, ngerubutin Mas-Mas Rumah Petualang yang pakai tas Mountain Hardware seharga 4,xxx juta rupiah.







Sampai tanpa saya sadari ternyata ada suatu masa Bunga sangat pendiam, ternyata dia memikirkan kebohongan publik tukang nasi uduk (yang ternyata nasi kuning) dan harapan tak sampainya ke tanset.

Well, untuk waktu dekat saya tidak akan pergi ke gunung, karena alasan cuaca dan juga mau memulihkan kondisi fisik dan emosi;)

***

Akhirnya saya belajar, mendaki gunung bukan tentang menuju puncak, namun tentang bagaimana kita berjalan bersama orang lain. Betapa saya masih egois, banyak kealpaan dan masih banyak yang harus diperbaiki. Diberi kesempatan untuk mengenali diri.. terima kasih untuk semua pembelajarannya. Kalian LUAR BIASA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar