Kamis, 11 Juli 2013

AIR MATA AWAN



Sebelum awan menangis, mana mungkin taman bisa tersenyum. 
Sampai bayi menangis, mana mungkin air susu mulai mengalir. 
Bayi satu tahun saja sudah tahu, “Aku akan menangis, supaya perawat yang baik datang” 
Tidakkah engkau tahu, bahwa sang perawat dari segala perawat
Tidak akan memberikan susu dengan gratis, tanpa tangisan… (Jalaludin Rumi)

Pada suatu hari, serombongan orang kafir bertamu kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW membagikan para tamu itu kepada para sahabatnya. Semuanya sudah dibawa sahabat ke rumah-rumah mereka, kecuali seorang. Ia tertinggal di mesjid. Tubuhnya luar biasa besar. Tampaknya tidak seorang pun sahabat yang mampu menjamu sang raksasa. Rasulullah SAW kemudian mengambil dia sebagai tamunya. Ia ditempatkan di sebuah rumah. Ia memakan habis makanan untuk porsi 18 orang. Ia minum habis semua susu yang diperah dari tujuh ekor kambing. Perutnya ternyata lebih besar dari tong kosong. Pelayan Nabi marah karena ia menelan semua makanan dengan rakus. Ia meninggalkan rumah itu dan mengunci pintunya dari luar.

Di tengah malam, sang raksasa terdesak untuk buang hajat. Perutnya sakit. Ia bermaksud keluar, tapi menemukan pintu terkunci. Dengan berbagai cara, ia berusaha membuka pintu. Setelah berulang-ulang gagal, ia merayap ke tempat tidurnya. Pada waktu itu, "desakan alam" tidak dapat ditahan lagi. Ia mengeluarkan kotoran di rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya: malu, terhina, bingung, takut. Sepanjang sisa malam itu, ia memasang kupingnya, berharap mendengar pintu dibuka seseorang. Menjelang subuh, ia mendengar pintu terbuka. Ia segera meloncat ke luar. Ia ingin melarikan diri dari semua derita dan rasa malunya. Ia tidak tahu bahwa yang membuka pintu itu adalah Nabi al-Musthafa. Setelah membuka pintu, Nabi Muhammad SAWsengaja menyembunyikan dirinya, agar orang itu tidak malu dengan apa yang dilakukan di rumahnya.

Di pagi hari, seorang sahabat mengantarkan tikar yang pernah ditiduri orang kafir itu. "Lihat, ya Rasul Allah, apa yang telah diperbuat tamu itu." Nabi SAW mengambil tikar itu sambil tersenyum dengan senyuman rahmatan lil'alamin. "Ambilkan air. Biar kotoran ini aku bersihkan," ujar Nabi. Para sahabat meloncat, "Demi Allah, jangan. Biarlah tubuh dan jiwa kami menjadi tebusanmu, ya Rasul Allah. Wahai yang disapa Tuhan dengan La-Amruk (Al-Qur'an 15: 72). Kami sepatutnya berkhidmat kepadamu. Kalau engkau yang melakukan perkhidmatan, apa jadinya kami."

"Saya tahu," ujar Nabi. "Tapi ini peristiwa luar biasa. Aku punya alasan mengapa aku harus melakukannya." Beberapa saat kemudian, orang kafir itu sadar bahwa ia kehilangan azimatnya. Ia menduga azimat itu tertinggal di rumah Nabi. Meski rasa malunya besar, ketakutan kehilangan barang berharganya lebih besar lagi. Dengan jantung bergetar, ia menelusuri jalan kembali. Dan di situ, ia menyaksikan pemandangan yang meluluhlantakkan hatinya:

Tangan sang kekasih Tuhan terlihat sedang membersihkan kotoran yang dibuangnya. Ia menjerit pilu. Ia memukul kepalanya sambil berkata,

"Duhai kepala yang tidak punya pengertian." Ia memukul dadanya dan berkata,

"Duhai dada yang tidak memperoleh cahaya."

Ia mengangkat kepalanya ke langit, tapi mengalamatkan ucapannya kepada Nabi, "Wahai, yang karenanya diciptakan seluruh alam semesta. Engkau begitu rendah hati mematuhi perintah Tuhan. Aku tidak punya muka lagi untuk melihatmu, duhai kekasih Tuhan!"

Tak henti-hentinya ia meraung, menjerit, dan gemetar. Tangan agung yang tadi membersihkan kotoran itu menepuk-nepuk tubuhnya, menenteramkan hatinya, dan membukakan matanya.


******************************************

Ada banyak derita yang kita alami dalam kehidupan ini. Banyak keterpaksaan yang merenggut ingin kita. Ada derita yang menghempaskan kita ke kerak bumi, namun ada juga yang membawa kita ke langit. Kebanyakan kita tenggelam dalam kondisi yang pertama. Kita kesal pada teman kita, kita jengkel pada sahabat kita, benci pada keadaan.

Derita seperti ini tak akan pernah memberikan waktu istirahat pada jiwa kita. Kita disibukkan untuk terus–menerus mengatasinya, tenaga kita terkuras habis. Tubuh kita penuh peluh, pakaian kita kotor, tapi tak punya waktu untuk membersihkan diri. Kita menjadi budak – budak tak berdaya dari keinginan – keinginan kita.

Perut kita menjadi tong besar, yang melahap habis makanan untuk belasan orang. seperti raksasa dalam cerita Rumi, tak menemui jalan untuk keluar dari penderitaan itu. kita berharap ada tangan Rasulullah yang membukakan jalan, melapangkan kesempitan hati.

Setelah mengambil jalan keluar yang dibukakan Nabi, kita akan segera diantarkan pada penderitaan kedua. penderitaan karena perpisahan. Kita harus bisa melepaskan kehidupan kita yang lama. Buanglah keinginan agar semuanya terjadi seperti kita kehendaki.

Kita harus membenturkan kepala kita yang tak punya pengertian, kita harus memukul-mukul dada kita yang tak punya kesadaran. Tetapi, derita kali ini akan mengantarkan kita dalam pelukan kasih Ilahi, sayangnya ALLOH.Dalam derita, ini kita akan merasakan kebahagiaan. Seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Kita akan merasakan sakit tapi juga kebahagiaan karena melahirkan kehidupan yang baru. Inilah tangisan awan yang membuat taman-taman tersenyum, inilah tangisan bayi yag mengundang air susu ibu.


Maka sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan, 
dan sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan(QS. 94 :5-6)

Wallahualam bissawab.


Taken from: Reformasi Sufistik-nya Kang Jalal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar